Masyarakat Maluku Tidak Ingin Terperangkap Isu Sara Lagi

by -135 Views


Ambon, Mollucastimes.Com- Pemuka Agama di Maluku
berpartisipasi dalam talkshow Bacarita Orang Maluku untuk menyatakan keinginan
kuat masyarakat Maluku agar memiliki kehidupan yang harmonis tanpa nuansa
kepentingan golongan yang mempengaruhi secara negatif sendi kehidupan
bermasyarakat di Maluku.
Pernyataan tersebut ‘terlontar’ dari para pemuka
agama dan perwakilan pemuda yang diundang dalam acara Bacarita Orang Maluku,
yang diselenggarakan oleh TVRI Maluku-Maluku Utara dalam rangka mencari
kesamaan persepsi perdamaian yang hakiki bagi Maluku.
Kegiatan tersebut dihadiri tokoh pemuka agama dan
perwakilan pemuda diantaranya; Jacky Manuputty (Gereja Protestan Maluku,
GPM.red), Abidin Wakanno (Majelis Ulama Indonesia, MUI Maluku.red), I Nyoman
Sukadana (Parasida Hindu Dharma Indonesia, PHDI.red), Abdul H. Latua
(Muhammadiyah.red), Pastor Constantius Fatlolon (Keuskupan Amboina.red),
Willhelmus Jauwerissa (Wali Umat Budha Indonesia, Walubi.red), serta perwakilan
kaum muda Ambon, di antaranya: Embong Salampessy (Harian Suara Maluku.red),
Zuhri Wael (DPP Hetu Upu Ana.red), dan Tarsisius Sarkol (Perhimpunan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia, (PMKRI.red).
Abdul H. Latua perwakilan Muhammadiyah menyampaikan,
rekam jejak Maluku sebagai sebuah wilayah yang pernah merasakan sulitnya
kehidupan karena politisasi agama pada periode 1999-2004 telah menciptakan
pertahanan diri yang kuat untuk menjadi alarm agar tindakan serupa tidak
kembali terjadi di Maluku.
“Semua ingin Maluku menjadi lebih baik. Kondisi yang
sudah bagus (bebas konflik) ini jangan diganggu lagi oleh isu-isu yang tidak
perlu,” tegas Latua
Jacky Manuputty perwakilan Gereja Protestan Maluku
(GPM) menyampaikan, selama lebih dari 10 tahun, Maluku berusaha untuk membentuk
kembali definisi perdamaian yang hendak dijadikan sebagai konsep dasar hidup
orang basudara agar memiliki persatuan yang kuat serta tidak rentan terhadap
isu SARA yang dipolitisasi. Hasilnya pun sudah mulai terlihat dimana saat ini
masyarakat sudah mulai berdamai dengan dirinya sendiri dan membuka interaksi
dengan mereka yang memiliki identitas yang berbeda, baik dari sisi suku, agama,
ras, maupun antar golongan.
“Perdamaian adalah sebuah kata kerja yang tidak akan
pernah selesai untuk dicapai. Kita punya hutang terhadap anak-anak generasi muda
untuk menciptakan kondisi yang damai di dalam kehidupan mereka di masa yang
akan datang. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk mengembalikan suasana
tersebut kepada mereka sebagai hak dasar mereka untuk memiliki kualitas hidup
yang lebih baik,” papar Manuputty.
Sementara Parasida Hindu Dharma Indonesia (PHDI) I
Nyoman Sukadana yang merasakan betul masyarakat minoritas di Ambon pun tidak
mendapatkan perlakuan yang berbeda dari masyarakat mayoritas dalam mendapatkan
pelayanan publik dan lainnya, mengatakan, Maluku boleh berbangga saat ini
banyak daerah yang mengagumi sistem rekonsiliasi pasca konflik yang luar biasa
baik, sehingga bekas dari perusakan di masa Konflik Sosial 1999-2004 dapat
hilang.
Wali Umat Budha Indonesia (Walubi) Willhelmus Jauwerissa
juga menyatakan, masyarakat Maluku sudah sangat dewasa sehingga konsep
perdamaian bukan hanya retorika, melainkan diwujudnyatakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Melihat fenomena agama yang sangat lekat dengan
identitas masyarakat Indonesia, Abidin Wakanno mengingatkan untuk tidak menarik
agama dalam ranah kepentingan pribadi, karena Tuhan menurunkan agama untuk
kedamaian dan kemanusiaan.
Selaras dengan Wakanno, Pastor Constantius Fatlolon
perwakilan
Keuskupan Amboina menyampaikan, agar kemanusiaan dapat terjaga, maka diperlukan kesadaran penuh
dari para pemimpin agama untuk tidak terlibat politik dan kesadaran umat untuk
menolak dipolitisasi. Pada permasalahan penistaan agama terutama,
penyelesaiannya harus dilakukan di ranah kewilayahan secara adil dan netral
oleh semua pihak yang berwenang. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak ada
masalah pengembangan yang terjadi di wilayah lainnya, akibat adanya politisasi
tertentu.
“Kami menginginkan proses hukum secara netral, agar
Maluku pun tidak menjadi daerah bayangan akibat imbas politisasi agama,” harap
Latua. (MT-08)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *