Ahok Membela Hak Konstitusi Membuka Tabir Kesewenang Wenangan Pra Karateker

by -142 Views

Mahkamah Konstitusi dan Pilkada 



Oleh :  S.J.Sisinaru.SH.M.Hum

Jakarta – Perubahan UUD 1945 yang telah merombak dan memperbaiki
pondasi sistim politik dan sistem hukum Indonesia. Sistim checks and balances
telah menggantikan sistim MPR dan UUD di tegaskan posisinya sebagai hukum dasar
yang mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermmasyarakat. (Jakob Tobing.2008,256).
Dalam beberapa dekade Pemilu di Indonesia jelas terlihat
banyak perubahan yang sangat berarti dari sisi kedaulatan rakyat. Mulai dari zaman Presiden pertama hingga Presiden kita sekarang Joko Widodo, mengalami
pasang surut kepercayaaan akan makna penting tentang Pilkada.  Dengan melihat
fenomena tersebut maka, Pemerintah akhirnya mendorong Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau yang juga sering disebut RUU
Pilkada agar berpedoman penuh pada putusan Mahkamah Konstitusi.
      Presiden RI Joko
Widodo mengatakan, UU Pilkada ini sudah sangat ditunggu-tunggu sebagai
landasan, payung hukum, dan panduan dalam tahapan setiap tahapan Pilkada
serentak. Sehingga, dia mengingatkan jangan sampai UU yang dibuat dan
disepakati justru berubah lagi karena dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
“Perhatikan betul putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat final dan mengikat. Jangan sampai kita membuat UU, setelah
disepakati bersama dengan DPR lalu berubah lagi karena dibatalkan oleh MK.
Untuk itu saya minta pada Mendagri (Tjahjo Kumolo), setelah ratas ini untuk
segera melakukan komunikasi dengan DPR, agar isu krusial yang masih tersisa
dapat segera dicarikan kesepakatan dan segera diputuskan,” kata Jokowi
dalam Rapat Terbatas tentang Perubahan Kedua UU tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota di Kantor Presiden, Jakarta, Senin 30 Mei 2016.
Jokowi juga meminta, Mendagri berkomunikasi dengan KPU
terkait dengan perencanaan Pilkada terutama mengenai anggaran Pilkada. Soalnya,
tahapan perencanaan program dan anggaran Pilkada sudah dimulai tanggal 22 Mei
2016 ini. Beberapa daerah, kata Jokowi, sudah menyusun dan menandatangani
perjanjian hibah daerah.
“Saya minta hal ini betul-betul dikawal dengan baik
sehingga Pilkada serentak 2017 bisa berjalan dengan aman, damai dan demokratis
seperti pada tahun lalu,” kata Jokowi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, sesuai arahan Presiden diputuskan agar substansi RUU kembali pada putusan MK dan hal-hal yang
sudah berjalan baik dalam UU 8/2015 agar tidak diubah. Dia mencontohkan seperti
persyaratan untuk calon independen tetap seperti yang ada dalam UU 8/2015 saat
ini. Begitu pula dengan batas dukungan partai politik tidak ada perubahan.
Fakta hari ini sangat mengejutkan, Ahok mengangkat ke
permukaan ketidakadilan dari sisi buruk Pilkada hari ini yang mengkebiri hak
–hak konstitusional para Gubernur, Bupati, Walikota.
  Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, kembali menjalani sidang pengujian
atas Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah
Konstitusi – terutama mengenai aturan cuti bagi petahana selama masa kampanye
Pilkada –  pada Rabu 31 Agustus 2016.
Sidang kali ini beragendakan perbaikan permohonan yang diajukan Ahok selaku
pemohon. Di persidangan, Ahok – yang akan maju ke Pilkada Jakarta 2017 sebagai
petahana – mengungkapkan bahwa dia telah melakukan sejumlah perbaikan dalam
permohonannya. Salah satunya adalah terkait kedudukan hukum (legal standing)
dalam mengajukan permohonan.
“Pemohon berkualifikasi sebagai perorangan warga negara
Indonesia,” kata Ahok dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi,
Jakarta.
    Terkait legal
standing tersebut, Ahok juga sempat merujuk pada Putusan MK terhadap gugatan
yang diajukan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP pada tahun 2008. Ahok menyebut
bahwa ketika itu, MK dapat menerima legal standing Sjachroedin selaku pemohon.
 “Sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat Gubernur
Lampung, yang diterima legal standingnya,” papar Ahok (VIVA.co.id, 31
Agustus.201).
Dalam buku yang di tulis oleh Jakob Tobing dengan judul
“membangun jalan demokrasi” maka, demokrasi yang di pandang adalah hak dan
kepastian atas hak tersebut.
Ahok memandang bahwa hak yang di rampas ketiak sumpah
jabatan yang diambil pada saat dilantik maka harus di tuntaskan. Ketika tidak dituntaskan maka itulah bentuk kebiri atas hak demokrasi.
Hak yang diambil dan diberikan kepada pejabat atau Karateker
adalah bentuk kebiri atas hak demokrasi sebagai warganegara yang di beri amanat
oleh sang empunya kedaulatan “Rakyat”.
Fakta hari ini karteker banyak menggunkan hak yang bukan
punyanya untuk berkas sebagai aslinya alhasil kewenangan pun di buat menurut
maunya. (refli harun, Kompas.4.2016). kewenangan seperti ini harus di jaga
ketat dan harus di awasi oleh berbagai pihak agar setiap kebijakan yang di
lakukan. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *