Jakarta,mollucastimes.com-Diakibatkan cakupan pengobatan AIDS dengan ARV di Indonesia hanya 17%, dan angka ini adalah yang terburuk di regional Asia Pacific bahkan Dunia, Indonesia AIDS Coalition (IAC), meminta Menteri Kesehatan RI segera melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS termasuk pelaksananya.
Hal ini ditegaskan Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana, Senin 16/09/19.
“17% merupakan angka yang buruk untuk kawasan regional Pacific bahkan Dunia. Dengan pengertian ada sekitar 140 ribu orang dengan HIV yang berada dalam pengobatan ARV sama dengan ada 500.000 ribu lainnya masih belum ada dalam pengobatan, bahkan masih belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV, tidak heran jika angka kematian akibat AIDS berdasarkan permodelan akan terus meningkat sampai dengan 2020 nanti,” aku Wardhana.
Indonesia AIDS Coalition (IAC) merupakan sebuah organisasi kelompok aktivis kesehatan menyerukan
capaian yang yang buruk ini dipengaruhi oleh banyak faktor.
“Faktor tersebut diantaranya kurangnya political will dari pemerintah dan layanan untuk memberlakukan Test and Treat, keterlambatan dalam mengadopsi pembelajaran terbaik dari negara lain yang nyata-nyata mendukung program AIDS, masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada kelompok terdampak AIDS seperti orang dengan HIV, pekerja seks, LGBT, pengguna narkotika, perempuan dan anak sampai dengan mahalnya harga obat ARV yang dibeli oleh pemerintah Indonesia dari industri farmasi BUMN,” paparnya.
Lanjutnya, UNAIDS yang merupakan saah satu badan PBB yang menangani program AIDS, memberi gambaran bahwa kematian akibat AIDS akan meningkat dari 45 ribu tahun 2018 menjadi 48 ribu pada 2020 mendatang bahkan cenderung meningkat seiring dengan rendahnya cakupan ARV pada ODHA.
“Kami menilai ini adalah tanda bahya yang harus segera disikapi oleh Indonesia. Pasalnya dengan angka cakupan ARV yang rendah maka potensi penularan akan menjadi tinggi, karena ARV dipercaya secara ilmiah mampu mencegah penularan HIV baru,” tandasnya.
Ditambahkan faktor lain yang menjadi pemicu rendahnya cakupan pengobatan ARV adalah prosedural pelayanan.
“Setelah pasien diketahui mengidap HIV maka sesuai evidence global, pasien sudah harus mengkonsumsi ARV, dengan tidak mengabaikan tes lainnya. Artinya kita menyelamatkan lebih dulu,” imbuhnya.
![]() |
Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana (kemeja biru) |
Diakuinya, ODHA di Indonesia kurang beruntung karena pengobatan ARV masih menggunakan jenis regimen zaman dulu.
“ARV jenis AZT misalnya telah digunakan sejak 1960 sebagai obat kanker bahkan digunakan dalam terapi HIV ketika pertama kali epidemi AIDS ditemukan tahun 1980. Sementara ada obat baru yang memiliki daya kerja tinggi seperti Dolutegravir namun belum diperkenalkan di Indonesia, mampu
memulihkan kondisi kesehatan ODHA dengan harga yang murah daripada ARV yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan,” paparnya.
Banyak kota di dunia seperti London, Amsterdam, Manchester dan Brighton, telah berhasil memberikan pengobatan ARV sebanyak 90% dari total ODHA yang ada.
“Berdasarkan data UNAIDS, 16 kota mencapai target 90% ODHA dalam pengobatan, diantaranya India memberikan obat ARV kepada 1,2 juta ODHA di negaranya; Cambodia memberikan ARV kepada 62 ribu ODHA dari total 67 ribu ODHA yang ada di Cambodia. Sementara Jakarta masih tertinggal jauh dengan angka yang terburuk di Asia,” rincinya.
Karena itu, pihaknya menghimbau agar Menteri Kesehatan secepat mungkin melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS. Hal ini sangat diperlukan agar pemerintahan yang baru bisa mengatisipasi peningkatan angka kematian ODHA akibat AIDS.
“Pemerintah juga harus menurunkan harga obat ARV sebab ODHA yang membutuhkan obat ARV ini masih banyak. Contohnya tahun 2019 Pemerintah harus menganggarkan 1,2 trilyun hanya untuk memberikan pengobatan ARV pada 150 ODHA sementara berdasarkan hitungan kami, harga yang rasional itu hanya 40% dari tingkat harga yang sekarang. Pemerintah juga harus menjadikan ODHA bagian dari pengambil kebijakan khusus program penanggulangan AIDS sehingga membantu penanggulangan AIDS di Indonesia,” pungkas Aditya. (MT-01)