Oleh
(Stenlly Patalatu, S.Pd, MA / Pemerhati Pendidikan)
(Stenlly Patalatu, S.Pd, MA / Pemerhati Pendidikan)
Topik seputar pendidikan selalu saja menjadi isu menarik untuk diperbincangkan. Sebagian besar itu bermuara pada rendahnya mutu pendidikan saat ini. Dan ketika semua orang berbicara mengenai rendahnya mutu pendidikan maka sekolah menjadi satu-satunya pihak akan dipersalahkan. Padahal pendidikan sejatinya tidak saja berlangsung di sekolah. Mutu pendidikan bukan saja tentang nilai laporan pendidikan melainkan juga tentang nilai-nilai pekerti yang dianut oleh anak sebagai peserta didik. Oleh yang demikian maka, keluarga juga memiliki peran yang sama pentingnya dengan lembaga pendidikan bernama sekolah.
Harapannya adalah pendidikan adalah gerakan semesta namun kenyataannya adalah ketika anak mulai menjalani hari pertamanya di sekolah atau terdaftar sebagai peserta didik, sejak saat itu pula orang tua mulai melimpahkan sepenuhnya tanggungjawab pada pihak sekolah. Orang tua yang seperti demikian mungkin bearanggapan bahwa mereka hanya bertanggung jawba terhadap kebutuhan makan, tinggal, pakai dan juga biaya pendidikan anak. Lantas, ketika anak gagal mencapai prestasi yang diharapkan, ketika anak mulai menunjukkan perilaku membangkang dan susah diatur maka sekolah menjadi pihak yang dipersalahkan. Lalu dengan lantang mereka katakan “Sekolah gagal!”
Apakah hanya sekolah yang patut disalahkan? Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui batasan pendidikan itu sendiri. Menurut tirtarahardja & Sulo (2005) Pendidikan mengandung banyak aspek dan batasannya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Namun demikian, Tirtarahardja dan Sulo (2005) mencoba memberikan beberapa batasan pendidikan berdasarkan fungsinya. Salah satu diantara batasan tersebut adalah pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi. Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan mengandung arti suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. dikatakan sistematis karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap bersinambungan (prosedural) dan sistemik oleh karena berlangsung dalam semua kondisi, semua lingkungan yang saling mengisi baik itu lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. Dengan menggunakan batasan ini, maka anak sebagai bagian dari anggota keluarga, harus tetap mendapatkan edukasi dari orang tua. Sebagaimana pendapat Berns (dalam Lestari, 2012) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi dan edukasi dimana keluarga menjadi transmisi niai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda. Fungsi ini tidak statis atau berhenti ketika anak mulai duduk di bangku sekolah atau mengenyam pendidikan dasar melainkan dimanis dan berlangsung terus menerus selama anak masih menjadi bagian dari keluarga.
Kalau kita melihat kembali pandangan pendidikan konservatif sebagaimana dikemukakan oleh Rafferty (2009), yaitu bahwa pendidikan konsevatif tidak percaya bahwa anak-anak milik sekolahan. Mereka milik orang tua. Para orang tua ini membayar para guru untuk menjadi pakar informasi, untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan yang musti dikantongi anak bila ingin menjadi manusia yang berpengetahuan dan sukses sebagai seorang yang dewasa kelak. Sekolah tidak didirikan untuk memberi makan anak-anak, bukan untuk mengkondisikan mereka secara psikologis, bukan untuk menghibur mereka, bukan untuk memberi mereka pakaian, dan sebagainya; tepatnya, sekolah haruslah tidak melakukan apapun kecuali mengajar anak-anak. Pandangan ini selaras dengan pendapat Drost (1998) yakni sekolah bukan pengganti orang tua oleh karenanya pembentukan watak anak justru bagian pendidikan yang tidak boleh diserahkan orang tua kepada orang atau instansi lain.
Orang tua sebagai pendidik yang utama
Mengingat betapa pentingya peran orang tua terkait pendidikan anak, maka Drost (1998) mengemukakan beberapa hal yang dapat menjadi acuan bagi orang tua agar menjadi pendidik yang baik bagi anak.Hal-hal tersebut antara lain;
1. Membangun hubungan mencintai dan dicintai. Ini berarti secara konkret orang tua harus terbuka kepada anaknya guna mengenalinya. Yang tidak dikenal mustahil dicintai. Menurut Peck (2007), ketika kita mencintai sesuatu yang bernilai bagi kita, kita akan meluangkan waktu untuk bersamanya, memiliki waktu untuk menikmatinya dan memeliharanya. Maka ketika kita mencintai anak-anak kita, harusnyalah kita meluangkan waktu untuk mengaguminya dan merawatnya. Lucado (2008) menyimpulkannya dalam pernyataan singkat yaitu anak-anak mengeja kata cinta dengan lima huruf, yakni waktu. Hanya dengan meluangkan waktu, orang tua dan anak akan ada dalam relasi komunikasi yang intensif untuk saling terbuka dan berbagi cinta kasih.
2. Memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak. Anak mengharapkan dari orang tua perlindungan merasa aman dan kerasan (nyaman). Percaya-mempercayai adalah syarat mutlak menciptakan suasana aman. Suasana keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada anak ikut berbagi kebahagian, keberhasilan, namun juga kegagalan dan keprihatinan dari keluarga. Tidak perlu ditandaskan bahwa mustahil diciptakan suasana aman apabila ayah dan ibu bertengkar melulu. Rumah bukanlah sejumlah fasilitas yang mewah. Mereka kerasan karena merasa aman, merasa dilindungi dan yang paling penting merasa dihargai, mengetahui bahwa pandangan dan pendapat mereka di dengar dan kalau bisa diterima.
3. Menjadi pembimbing bagi anak.Artinya orang tua harus menerima bakat dan kemampuan yang ada pada anak. Tetapi tetap bertumpu pada asas pokok, yaitu harus menerima anak apa adanya. Supaya kemampuannya berkembang, orang tua harus menciptakan ruang lingkup yang meggairahkan. Yang harus dihindari ialah segala hal yang menekan. Kemampuan anak harus dikembangkan, bukan cita-cita orang tua dipaksakan kepada anak. Anak tetap anak, dan anak harus dibiarkan tetap menjadi anak. Anak bukan dewasa kecil yang perlu dibesarkan melainkan anak yang harus didewasakan. Jadi, jelas bahwa bimbingan harus didasarkan atas kepercayaan kepada anak, bukan atas kecurigaan. Jadi, bimbingan dari orang tua harus selalu menyesuaikan diri dengan keadaan nyata si anak.
4. Memahami kebutuhan anak untuk diakui. Artinya, orang tua harus menghargai pribadi seorang anak. Anak berhak dan memohon didekati penuh respek. Jelaslah bahwa anak pun mempunyai hak-hak asasi di rumah, di keluarga, di sekolah. Walaupun masih amat bergantung kepada orang lain, masih sangat lemah, ia harus diperlakukan sebagai pribadi. Agar orang dapat menghargai anaknya sebagai pribadi, ia jangan sampai lupa bahwa ia sendiri pernah menjadi seorang anak. Apabila ia lupa akan hal itu, akan timbul banyak konflik karena patokan, kriteria dan tolok ukur yang dipakai sama sekali tidak cocok untuk si anak. Hal konkret yang sering dilupakan adalah bahwa daripada memberi perintah orang tua dapat mengajukan permintaan. Setelah anak menyelesaikan apa yang dimintai kepadanya, orang tua harus mengucapkan terima kasih.
5. Disiplin. Kebutuhan akan disiplin. Anak adalah manusia yang harus didewasakan. Jadi, sedikit demi sedikit, sesuai dengan umurnya, ia harus diajari dan dibiasakan bahwa ia makhluk sosial. Ia harus belajar bergaul dengan orang lain, dengan sesama. Ia harus belajar bahwa pergaulan berarti ada aturan mainnya dan tidak asal semau gue. Orang tua haruslah berdisiplin diri sehingga ia bisa menjadi teladan bagi anaknya. Mustahil orang tua yang tidak disiplin dapat menjadi pendidik yang baik. Apabila anak melihat ayah atau ibunya adalah orang yang disiplin, maka ia akan menerima bahwa kepadanya dituntut disiplin juga. Peck (2007) menyampaikan bahwa sebagaimana mencintai dan dicintai, disiplin yang baik juga membutuhkan waktu. Ketika kita tak punya waktu bagi anak-anak kita, kita tidak akan jeli untuk menyadari kapan mereka butuh bantuan pendisiplinan diri.
Akhirnya, kegagalan anak di dunia pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab lembaga pendidikan. Jadi, tidak perlu saling tuding dan lempar tanggung jawab untuk tugas mulia yang sama-sama diemban. Disinilah dibutuhkan kerja sama yang sinergis antara kedua pihak sehingga berdampak pada perubahan pola pikir dan tingkah laku anak. Dengan demikian konsep pendidikan sebagai gerakan semestadapat diaplikasikan dengan baik dalam rangka peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan harapan semua orang di Negara ini. SEMOGA!