Oleh : Sostones Y. Sisinaru, SH,M.Hum
Jakarta-Tanpa disadari, selama ini, praktek korupsi dalam politik Indonesia sudah berkembang menjadi “Ideologi” Nasional yang sesungguhnya, walau di sembunyikan dalam retorika umum, dan pandangan untuk konsumsi public selalu disembunyikan rapat-rapat.
Dalam retorika umum, dan pandangan untuk konsumsi publik, berbagai pemimpin menunjukkan komitmen yang tinnggi kepada semangat pemberantasan korupsi. Namun dalam praktek politik sehari-hari, pemimpin itu turut berperan sebagai korouptor alias melebur menjadi sama, atau bersikap pasif terhadap meluasnya jaringan korupsi.
Disisi lain praktek yang dinamakan korupsi telah menghancurkan Indonesia, dari Aceh sampai ke Papua, dari Sabang sampai Merauke, dari Barat sampai ke Timur. Kian semakin tereduksi maknanya hanya sebagai bargeining kekuasaan yang melindungi politik uang.
Disemua lini, satu persatu isu korupsi terbongkar, fakta hari ini sudah beberapa politikus besar dan mempunyai jabatan puncak pun ikut tejerat kasus korupsi sebut saja Mantan para Gubernur dan Bupati, bahkan fakta yang mengejutkan terbaru yakni Ketua Lembaga terhormat DPD RI juga pun terseret. Alangkah ironi negeriku ini.
Bahkan di kalangan penegak hukum pun ikut memakan “coklat” (korupsi) yang di berikan secara gratis, mulai dari Hakim, Jaksa bahkan Mahkamah Konstitusi pun ikut terseret pusaran penyakit yang pelan mematikan rakyat ini.
Kalangan pengusaha pun tidak kalah cerdas dan cantiknya dalam bermain uang, bukan hanya mereka, permainan kotor ini layaknya sindrom virus yang menyebar ke akar rumput (kekalangan bawah) seperti aktivis, akademisi dan institusi demokratisasi seperti KPU juga tidak lagi aneh terdengar.
Bukan isu dan tuduhan korupsi itu benar yang menjadikan masalah korupsi di Indonesia berada pada stadium 4 alias berbahaya. Namun sikap elite politik yang memprihatinkan, para elite politik terlalu bersikap kompromis dan lunak atasi paraktek korupsi.
Mengapa selama ini elite kita begitu lunak dan lembek terhadap kasus korupsi ?
Kemungkinan pertama, kompetisi di antara para elite politik itu sangat keras, mereka butuh konsolidasi kekuasaan. Sementara di era sekarang, konolidasi sekarang membutuhkan uang yang sangat banyak. Para elite itu sekarang sangatlah sibuk mengumpulkan uang, baik secara halal maupun tidak. Sebagian besar mereka terlibat secara langsung atau pun tidak langsung dengan parkatek korupsi itu.
Dalam kondisi seperti ini, wajar saja jika diantara para elite itu ada semacam kesepakatan tidak tertulis untuk tidak saling membongkar. Apalagi elite politik yang lain megetahuinya, itulah yang harus di jaga ketat. Maka “hukum yang tidak tertulis” adalah jika elite yang 1 terbongka rmaka yang lainpun hanya menunggu giliran antri untuk di menjadi penghuni rumah tahanan. Maka yang tercipta dari praktek ini adalah saling melindungi, ini yang membuat mereka lembek atas pembongkaran kasus korupsi.
Kemungkinan kedua, ada pembagian kerja secara tidak tertulis dalam setiap partai besar. Dalam partai itu, ada pihak yang bertugas mencari uang (mendekati para pengusaha), dan ada pihak yang terus mengembangkan idealisme politik. Sebenarnya hanya sekelompok kecil elite yang terlibat dalam Money Politik. Menurut Deni J.A. dalam bukunya :Jalan Panjang Reformasi, politik di partai adalah politik jaringan. Jika kartu mati maka tokoh itu terbuka, yang akan buruk bukan hanya tokoh itu, tetapi juga keseluruhan partai.
Dalam kondisi seperti ini, tanpa di sadari sang elite yang korup itu terpaksa dilindungi oleh kerabat jaringan poltiknya. Jaringan politik itu tidak perlu memberikan pembelaan atas sang tokoh yang dituduh. Mereka cukup diam dan pasif, sehingga semua inisiatif pembongkaran korupsi akan melemah dan hilang di telan waktu.
Alasan ketiga, saman sekarang paraktek korupsi biasanya di lakukan secara bersama-sama alias Masohi (dalam Bahasa Seram) yang di sebut juga Gotong royong. Praktek ini tidak dilakukan secara sendiri karena ketika di lakukan secara sendiri maka yang menjadi tumbal adalah dirinya sang tokoh korup situ. Uang hasil korupsi itu di bagikan secara estefet dari satu tangan ketangan yang lain. Semua harus mendapatakan jatah secara proposional sesuai dengan posisi dan kevokalanya. Alasan karena semua mendapatkan bagian dari hasil tersebut maka berkepentingan agar praktek korupsi ini tidak di bongkar. Para elite politik ini bukan tidak peka dengan korupsi tapi kebutuhan politik praktis akan uang, demi lobi politik, sampai kepada gaya hidup, membuat mereka mabuk anggur korupsi.
Namun sikap pasif mereka sudah cukup membuat isu korupsi itu sulit bahkan mustahil untuk di bongkar dalam proses hukum Indonesia. Korupsi memang sudah mengepung kita, karena matarantai korupsi sudah sedemikian rumit melilit leher kita, akibat terlalu banyak tangan yang menjalankan estavet ini.
Dari mana pemberantasannya harus di mulai ? jawaban yang paling biasa diterima adalah leadership dari pimpinan Politik tertinggi. Memang di sadari tidaklah semua elite politik dan kalangan lain semuanya berlakon yang sama alias korupsi, ada yang tetap berpegang pada idelaisme mereka tentang semangat pemberantasan korupsi.
Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menunjukan gerakan yang sangat menggembirakan dalam semangat untuk membangkitkan optimis membahwahi korupsi harus di berantas. Dua tokoh ini, kita berharap bangsa Indonesia pun berharap mereka adalah martir bagi semangat pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Ketika di masa jabatan kedua martir diatas tetap pada komitmen bersama melakukan terobosan dengan slogan REFOLUSI MENTAL bagi semua kalangan yakni Jaksa, Polisi, KPK, Hakim dan lembaga lainya serta komponen masyarakat untuk tetap menjunjung tinggi semangat melawan korupsi, memotong, mencabut akar korupsi, walaupun bila di bayangkan mereka akan tersandra dengan alasan-alasan dari berbagai pihak, akan tetapi jika komitmen ini di junjung tinggi karena keiklasanya kepada rakyat Indonesia maka mengutip kata sang idola Aristoteles akar dari pendidikan itu pahit rasanya tapi buahnya manis. Maka semangat pemberantasan korupsi itulah pendidikan yang sejati, harus di kejar, di usahakan hingga engkau menemukanya, maka akan di tulis dengan tinta emas di hati sanubari masyarakat Indonesia hai sang Proklamator REFOLUSI MENTAL.(**)