“Hal itulah yang membuat Komisi Permanen pada akhirnya menambahkan didalamnya sekitar 62 artikel baru dan itu sesungguhnya dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan teologi yang selama ini ditanyakan oleh umat,” ungkap Maspaitella.
Ambon,moluccastimes.id-Ada sejarah baru sesungguhnya yaitu bahwa dari pergumulan panjang di tiga masa sinode, telah ditetapkan ajaran gereja yang komprehensif, dimana ada perkembangan didalam praktek ajaran gereja.
Demikian Ketua Sinode GPM, Pdt. Elifas Maspaitella, usai paripurna Komisi I Ajaran Gereja dalam Sidang Sinode ke-39 GPM, yang berlangsung di Gereja Maranatha, Rabu 22/10/2025.
“Hal itulah yang membuat Komisi Permanen pada akhirnya menambahkan didalamnya sekitar 62 artikel baru dan itu sesungguhnya dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan teologi yang selama ini ditanyakan oleh umat,” ungkap Maspaitella.
Jadi, menurutnya pada akhirnya gereja telah memiliki satu pedoman teologi yang baik untuk menjawab banyak persoalan hidup bergereja yang selalu menjadi pertanyaan umat.

“Kita berharap setelah sidang ini berakhir, dokumen tersebut dapat disosialisasikan dan akan menjadi bagian dari muatan pembelajaran gereja baik pada pendidikan formal dalam kurikulum, kemudian bagian dari isi khotbah para pendeta dan ataupun dalam komunikasi-komunikasi penggembalaan,” tandasnya.
Lanjutnya, bahwa lewat dokumen ajaran gereja ini telah memberikan satu pendasaran pemahaman yang lebih fundamental mengenai seluruh praktek ibadah gereja tapi juga peran dan fungsi pelayanan gereja.
“Jadi, diharapkan para pendeta, penatua, diaken, akan dapat memahami peran dan fungsinya baik dalam manajemen kepemimpinan gereja tapi juga dalam tugas-tugas Liturgi gereja,” lugas Maspaitella.

Elifas menegaskan, ajaran gereja memang bukan Alkitab, namun menjadi dasar teologi bagi jemaat agar memiliki pedoman yang kokoh dalam kehidupan iman terutama menghindari tafsir ganda.
“Karena itu, sangat penting kita meninjau kembali penggunaan istilah dan kalimat didalam dokumen agar tidak menimbulkan tafsir ganda. Tafsir memang selalu ada, tetapi tidak boleh menafsirkan dokumen gereja dengan double standard. Selain itu notulensi dalam setiap sidang sinode menjadi catatan teologis yang kaya dan bisa dijadikan bahan penelitian oleh dosen maupun mahasiswa Fakultas Teologi bahkan dapat menjadi bahan tesis atau karya akademik yang berharga,” jelasnya.
Dalam kaitan tersebut, dirinya meminta Tim Penyusun memeriksa istilah-istilah yang berpotensi multitafsir, seperti penyebutan lembaga pemerintahan atau jabatan gerejawi.

“Misalnya, penggunaan istilah “lembaga negara yang sah” agar tetap relevan meski struktur pemerintahan berubah, juga istilah “penatua” dan “pendeta” agar tidak terjadi kesalahpahaman tafsir di kemudian hari. Walaupun dasar tetap Alkitab, namun penyusunan ajaran gereja harus menggunakan bahasa teologis yang jelas dan tidak menimbulkan ambiguitas,” jelas pendeta rendah hati itu.
Ditambahkan, hal-hal teknis seperti waktu pelaksanaan Sidi tidak perlu dicantumkan dalam dokumen ajaran gereja tapi dapat diatur dalam dokumen atau petunjuk pelaksanaan lainnya.(MT-01)











